Proses belajar bagi siswa tidak hanya dilakukan di dalam kelas tetapi dapat juga dilakukan di luar kelas. Perkembangan zaman dari waktu ke waktu mengalami perubahan. Dalam rangka menambah wawasan pendidikan Indonesia serta meningkatkan nilai-nilai mata pelajaran, SMP Strada Yos Sudarso mengadakan kegiatan studi lapangan di Taman Mini Indonesia Indah Jakarta agar siswa-siswi mengetahui keanekaragaman budaya Indonesia yang bermanfaat terutama dalam menambah wawasan bagi siswa-siswi bagi kelas VII, VIII, dan IX.

Kunjungan ke TMII belum lengkap jika belum menelusuri area Anjungan Daerah. Mengelilingi danau Miniatur Arsipelago Indonesia, Anjungan Daerah merupakan koleksi bangunan rumah adat dari 33 provinsi di Indonesia. Masing-masing Pemerintah Provinsi mempersembahkan berbagai jenis rumah adat khas daerahnya dalam satu kawasan yang diperuntukkan bagi provinsi yang bersangkutan, yang menjadi cerminan identitas, kearifan lokal, dan kedalaman jiwa bangsanya.

Setelah sampai di TMII, tempat pertama yang kami kunjungi adalah Museum Pusaka. Museum ini terdiri atas dua lantai. Museum ini didirikan dengan maksud melestarikan, memelihara dan mengumpulkan senjata tradisional, memberikan informasi kepada generasi penerus tentang senjata tradisional sebagai benda budaya, serta pusat penelitian senjata. Di dalamnya, terdapat ruang pameran, ruang informasi, ruang pengelola, ruang sarasehan, ruang perpustakaan, ruang konservasi, ruang preservasi, ruang bursa, dan ruang cinderamata yang menjadi wadah untuk memberikan pengetahuan seputar senjata tradisional Nusantara. Di ruang pameran, selain benda-benda koleksi pusaka dari berbagai daerah dari zaman ke zaman, terdapat pula berbagai jenis kayu untuk membuat pusaka serta ruang besalen, yang merupakan tempat kerja empu pembuat keris. Beberapa koleksi benda pusaka unggulan yang langka dan legendaris di museum ini antara lain adalah Keris Nagasasra Sabuk Inten dari zaman Mataram, kujang dari zaman Padjajaran, Keris Singa Barong Tinatah Mas, karih dari Sumatera, belati dari zaman Kerajaan Mataram, kudi dari zaman kerajaan Tuban, pedang dari zaman Hamengkubuwono IX, dan keris Naga Tapa dari Yogyakarta.

Kami melanjutkan perjalanan menuju ke Anjungan Sulawesi Selatan. Sulawesi Selatan, provinsi yang dikenal dengan kuliner lezat seperti Pisang Epe, Es Pisang Ijo, Barongko, Coto Makassar, Sop Konro, Ikan Bakar Parape, dan Songkolo Bagadang, menyajikan pengalaman unik yang tidak dapat ditemui di tempat lain. Anjungan Sulawesi Selatan di TMII menampilkan tiga rumah adat, yaitu Rumah Tongkonan dari suku Toraja, Rumah Balla Lompoa dari suku Makassar, dan Rumah Bola atau Souraja dari suku Bugis.

Setelah mengunjungi Ajungan Sulawesi Selatan kami menuju ke Museum Indonesia. Bangunan utama terdiri atas tiga lantai yang berdasarkan pada falsafah Bali Tri Hita Karana, konsep moral yang menekankan pada tiga aspek yang dapat membawa manusia kepada kebahagiaan sejati yakni; memelihara hubungan yang harmonis dengan Tuhan, dengan sesama manusia, dan dengan alam dan lingkungan sekitar. Ruang pamer lantai pertama bertema Bhinneka Tunggal Ika (Berbeda-beda tetapi satu jua). Bagian ini menampilkan pakaian tradisional dan pakaian pernikahan dari 27 provinsi di Indonesia (jumlah provinsi Indonesia tahun 1975 sampai 2000). Ruang pamer ini juga menampilkan berbagai kesenian khas Indonesia, seperti beraneka ragam tari, wayang, dan gamelan, serta lukisan kaca bergambar peta Indonesia. Pameran ini menampilkan kekayaan dan keanekaragaman budaya masyarakat Indonesia, yang terdiri atas berbagai bahasa, tradisi, agama, budaya, dan adat istiadat masyarakat Indonesia. Lantai kedua bertema Manusia dan Lingkungan. Bertujuan untuk menjelaskan mengenai interaksi masyarakat Indonesia dengan alam dan lingkungannya. Dipamerkan berbagai rumah miniatur rumah tradisional, bangunan peribadatan, lumbung padi, dan tata letak bangunan dan ruang tinggal masyarakat Indonesia. Sebagai contoh, rumah panggung, rumah yang didirikan di atas pohon atau di atas sungai, serta bebagai bangunan tradisional lainnya. Seni dan Kriya adalah tema ruang pamer lantai ketiga. Ruangan ini menampilkan seni dan kerajinan tradisional dan kontemporer masyarakat Indonesia. Kerajinan kain tradisional seperti Songket, Tenun, dan Batik dipamerkan, demikian juga benda-benda kerajinan dari logam seperti ukiran tembaga dan kuningan.

Tempat terakhir yang kami kunjungi adalah Anjungan DKI Jakarta. Jakarta, sebuah kota metropolis yang dikenal akan gedung pencakar langit dan cahaya urban, menjadi magnet bagi para perantau dari seluruh pelosok Indonesia. Berawal dari sebuah Bandar bernama Sunda Kepala di Muara Sungai Ciliwung, kota ini adalah pintu gerbang masuknya berbagai keberagaman etnis dan budaya, yang kemudian melahirkan masyarakat Betawi dari beragam latar belakang dan etnis. Pada 22 Juli 1527, dari Sunda Kelapa, namanya berubah menjadi Jayakarta dan diperingati sebagai hari lahir Kota Jakarta, yang mencerminkan kemenangan atas penjajahan Portugis yang dibebaskan oleh Fatahilah. Jayakarta kemudian berganti nama menjadi Batavia di bawah pemerintahan Belanda yang menata Infrastruktur Kota Jakarta dengan Pusat Pemerintahan bernama Kota Tua, dan menjadi Jakarta setelah proklamasi kemerdekaan hingga kini. Anjungan ini, sebagai jendela informasi perkembangan kota Jakarta dari masa ke masa, merupakan daya tarik wisata yang ramah disabilitas, di antaranya rumah khas Betawi yang mempersembahkan sentuhan arsitektur tradisional. Rumah Kebaya dan Joglo turut hadir, mengundang pengunjung ke dalam gemerlap seni dan budaya tradisional Betawi. Ruang-ruang khas Betawi, seperti paseban, pangkeng, pendaringan dan srodoyan/dapur  memberikan nuansa autentik. Gedung Blandongan adalah panggung pementasan seni budaya Betawi bernuansa alkulturasi baik kontemporer maupun tradisional. Terdapat juga bangunan utama berupa ruang pameran yang memiliki sebuah bangunan dengan ornamen cawan Monas yang menjadi daya tariknya. Di lantai pertama, pengunjung disambut sepasang ondel-ondel setinggi 4 meter di depan pintu masuk, yang membuka pintu informasi mengenai khasanah budaya Jakarta dan peta museum se-DKI Jakarta. Termasuk di antaranya adalah diorama kapal-kapal Eropa di Sunda Kelapa dan pakaian adat Betawi, seperti sadariah dan krancang sebagai busana sehari-hari, busana formal seperti jung serong dan encim, abang dan none Jakarta, hingga busana pengantin Betawi seperti care haji dan care China.

Sebarkan artikel ini